Puri Pemecutan Denpasar tahun 1718
Sampai tahun 2013 belum ada satupun kota di Indonesia yang masuk dalam 62 Urban Heritage atau Kota Pusaka Dunia yang ditetapkan oleh UNESCO.Saat ini telah ada 49 Kota yang mengajukan diri untuk dikembangkan bagian kota atau wilayahnya menjadi Kota Pusaka minimal berskala nasional kemudian diseleksi oleh pemerintah Pusat untuk diajukan menjadi Kota Pusaka Dunia.Pada tahap awal akan dipilih 10 besar untuk ditindaklanjuti nantinya dalam bentuk kegiatan aksi terkait upaya penataan dan pelestarian kota pusaka yang dibiyai pemerintah pusat.
Taman Soekasada Ujung, Amlapura-Kab,Karangasem, Bali .Dibangun pada tahun 1919 merupakan kombinasi dari arsitektur Bali dan Eropa
Isu kota pusaka saat ini sedang hangat dibicarakan di dunia internasional. Wujud nyata Kota Pusaka yang berkelanjutan dan masuk kedalam deretan Kota Pusaka Dunia oleh UNESCO, sudah semakin banyak dan terus bertambah. Setiap negara yang peduli dan menghargai sejarah dan aset kotanya berusaha keras menyusun strategi dan melakukan pengelolaan yang maksimal agar tercipta Kota Pusaka yang berkelanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi penduduk kotanya yang menghasilkan “Quality of Space” sampai kepada “Quality of Life”.
Program Pelestarian Kota dan elemen elemen bersejarah lainnya adalah bentuk penghargaan pada sejarah dan sebagai aset untuk masa depan bangsa Indonesia. Aset Pusaka , pengelolaan, peran pemerintah daerah, stakeholder dan partisipasi lembaga pelestari serta masyarakat lokal dalam suatu tatanan ruang adalah unsur penting dalam mengembangkan suatu sistem pelestarian Kota Pusaka Indonesia yang berkelanjutan dan diharapkan dapat menambah khasanah keragaman Kota Pusaka Dunia.
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi warisan budaya yang kaya dan beragam. Potensi ini terwujud dalam bentuk kesenian, adat istiadat, bahasa, situs, arsitektur dan kawasan bersejarah. Kekayaan dan keragaman warisan budaya inilah yang telah memberikan kontribusi kepada kota-kota di Indonesia, sehingga masyarakat kota dengan proses budayanya, telah membentuk karakter, keunikan, dan citra budaya yang khas melekat pada setiap kota serta memberikan peran signifikan dalam pembentukan identitas kota. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan pentingnya kota- kota memperhatikan nilai parsial budaya yang berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Hal ini mengandung makna tema budaya menjadi salah satu faktor determinan dalam pengelolaan kawasan disamping tema-tema lainnya, seperti lingkungan, sumber daya alam dan teknologi, ekonomi dan pertahanan keamanan. Pelestarian dan pengelolaan kota-kota pusaka sangat bergantung dengan potensi pusaka didalamnya. Kota-kota atau kawasan pusaka dengan nilai peninggalan budaya yang kuat perlu lebih komprehensif penanganannya, sehingga tidak terfragmentasi secara sektoral. Untuk itu, pendekatan pengelolaan kawasan pusaka harus berbasis pada kebijakan spasial penataan ruang daerah setempat yang solid dan konsisten, tercermin antara lain dari urban leadership serta kebijakan program dan anggaran yang responsif. Integrasi antar sektor yang mengambil locus pada kawasan pusaka dengan aset-asetnya harus diselenggarakan dalam rangka mewujudkan kota pusaka sebagai identitas utama, sekaligus mendorong berbagai potensi ekonomi yang mengikutinya. Keragaman visi jangka panjang kota-kota pusaka seyogyanya tertuang pada kebijakan penataan ruang secara hierarkis dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), hingga elaborasi panduan tata bangunan dan lingkungan melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Kebijakan tersebut dapat menjadi arahan dasar dalam pelestarian dan pengelolaan kawasan pusaka secara terintegrasi dengan elemen kota sebagai sebuah entitas perkotaan yang utuh. Diperlukan kelembagaan yang adaptif untuk mewujudkan kualitas tata ruang berbasis pelestarian pusaka dan budaya kota yang berkelanjutan. Pada tahun 2011 yang lalu, Kementerian Pekerjaan Umum c.q Ditjen Penataan Ruang bekerjasama dengan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) telah memetakan 9 (sembilan) kota pusaka sebagai laboratorium untuk mengenal beberapa karakter kota/kawasan pusaka di Indonesia. Kesembilan kota pusaka tersebut dapat dibagi menjadi beberapa tipologi kota pusaka sebagai berikut: (1) Bukittinggi adalah kota sedang di perbukitan/dataran tinggi, (2) Sawahlunto merupakan kota kecil peninggalan pertambangan, (3) Baubau adalah kota kecil dengan 1000 Bentang dan pelabuhan tradisional, (4) Yogyakarta merupakan kota besar pada dataran rendah yang sudah berkembang pesat, (5) Banjarmasin merupakan kota besar dengan tipologi kota tepian air (waterfront city), (6) Ternate merupakan kota pesisir pantai dengan karakter kepulauan, (7) Malang merupakan kota besar ex-pusat pemerintahan kolonial, (8) Banda Aceh merupakan kota sedang dengan pusaka religius yang kental, dan (9) Ambon merupakan kota sedang dengan karakter pesisir dan pelabuhan yang kuat. Keragaman tipologi kota pusaka yang dimiliki oleh Indonesia membuktikan bahwa potensi kearifan lokal yang telah mengental dapat menjadi dasar terwujudnya Kota Pusaka Indonesia, sekaligus sebagai cikal bakal menuju Kota Pusaka Dunia (World Heritage City). Bagi kota-kota yang memiliki peninggalan kebudayaan yang kuat dan telah terjaga dengan baik diharapkan dapat terus meningkatkan integrasinya dengan lingkungan binaan perkotaan agar kota pusaka dapat meningkatkan kualitasnya secara simultan, sedangkan untuk kota-kota lainnya perlu terus didorong untuk meningkatkan pengelolaan kawasan pusakanya sesuai dengan arahan rencana tata ruangnya.
Tinjauan Kota Pusaka di Indonesia
Pusaka menurut Piagam Pelestarian dan Pengelolaan Pusaka Indonesia Tahun 2003 meliputi
pusaka alam, pusaka budaya dan pusaka saujana.
kesatuan bangsa Indonesia dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud (tangible) dan pusaka tidak berwujud (intangible).
Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka
alam, pusaka budaya berwujud dan pusaka budaya tidak berwujud, serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif. Pada tahun 2012 terdapat 10 kabupaten/kota yang terpilih dari 27 kota/kabupaten yang berpartisipasi dalam P3KP sebagai kelompok A (prioritas) yakni :
Bau Bau.
Kesepuluh Kabupaten/kota tersebut telah melakukan penyusunan kerangka Rencana
Aksi kota Pusaka sebagai tahap awal implementasi Kota Pusaka.
Singkatan yang terkait dengan Kota Pusaka
|